HADIST
MEMULIAKAN TAMU
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah: Hadist
Dosen
pengampu: Bapak Safrodin, M.Ag
Disusun
oleh:
Muhammad
Ainun Na’im (131111026)
Siti
Muffatakhah (131111027)
Nila
Afitri Nurinsani (131111028)
Zulfi
Trianingsih (131111029)
JURUSAN
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Memuliakan tamu adalah kewajiban semua muslim, bertamu itu
merupakan ajaran Islam. Kebiasaan para Nabi dan orang-orang sholeh. Sebagian
ulama’ mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka
berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlak terpuji. Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa memuliakan tamu adalah kewajiban bagi kaum muslim, namun
kenyataannya banyak orang Islam tidak menghormati tamu yang datang kerumahnya,
faktor egois atau yang lainnya mempengaruhi. Padahal Nabi sendiri tidak
mengajarkan itu, malah Nabi mengajarkan kita untuk menghormati dan memuliakan
tamu tang berkunjung kepada kita karena itu adalah hal yang dapat mempererat
persatuan umat. Oleh karena itu, marilah kita belajar dari Nabi untuk
memuliakan tamu.
II.
PEMBAHASAN
A.
Hadits memuliakan Tamu
عن أبي هرير رضي الله عنه : أن رسو ل الله صلى الله
عليه و سلم قل: من كان يؤمن با لله واليوم الا خر فليقل خيرا أو ليصمت و من كا ن
يؤ من با لله واليوم الاخرفلكرم جا ره, و من كا ن يؤمن با لله والوم الاخرفليكرم
ضيفه (رواه لبخا ري و مسلم)
Artinya
: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia berkata baik
atau diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia
menghormati tetangga. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah
ia memuliakan tamu.[1]”
( HR. Bukhori-Muslim)
من كا ن يو من ب الله و اليو م الا خر فليكر م ضيفه, جا ئز ته يو م و
ليلة, والضيا فة ثلا ثة أ يا م, فما بعد ذ لك فهو صد قة, و لا يحل له أ ن يثو ى عند
ه حتى يحر جه.
Artinya
: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tamunya, masa bertamu yang dibolehkan adalah satu hari dan satu
malam, dan penjamuan tamu itu tiga hari, maka selebihnya adalah sedekah, dan
tidak halal bagi tamu untuk menginap disisinya hingga menyebabkan tuan rumah berdosa
(karena melakukan ghibah dan lain-lain).” Diriwayatkan oleh Malik, Al Bukhori, Muslim.
Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah[2]
B.
Kualitas Hadits
Ditinjau dari kualitasnya, hadits tersebut merupakan hadits shohih
karena diriwayatkan oleh imam Bukhori-Muslim.
C.
Asbabul Wurud Hadits Memuliakan Tamu
Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata,
“sesungguhnya saya kelaparan.” Maka Beliau mengutus seseorang kepada salah satu
seorang istrinya, namun istrinya berkata,”tidak, demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan kebenmaran, saya tidak punya apa-apa selain air.” Kemudian
Beliau mengutus utusan kepada istrinya yang lain, dan ia pun mengatakan seperti
itu juga, hingga semua istri Beliau mengatakan sama,”tidak, demi Dzat yang
telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak punya apa-apa selain air.” Maka
Beliau bersabda,”siapa yang mau ditamui malam ini? Semoga Allah merahmatinya!”
maka seorang laki-laki dari kaum anshor berdiri seraya berkata,”saya, wahai
Rasulullah.” Maka ia pun berangkat dengannya menuju rumahnya, dan kemudian
berkata kepada istrinya, “apakah kamu mempunyai sesuatu?” ia menjawab,”tidak,
kecuali makanan anak-anak ku.” Suaminya berkata,”sibukanlah mereka dengan
sesuatu (sehingga teralihkan), dan apabila mereka hendak makan malam, maka
tidurkanlah mereka, dan apabila tamu kita masuk, maka padamkanlah lampu dan
perlihatkanlah kepadanya seakan-akan kita sedang makan.” Dan didalam satu
riwayat disebutkan,”maka apabila ia akan duduk untuk makan, mka bangkitlah kamu
menuju lampu hingga kamu memadamkannya.” Perawi menuturkan,”maka merekapun
duduk dan sang tamu makan sedangkan mereka berdua kelaparan semalaman. Dan pada
pagi harinya datanglah kepada ku Rasul SAW dan bersabda,”sesungguhnya Allah
kagum terthdapa perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian berdua.” Ia
menambahkan dalam satu riwayat, “maka turunlah ayat ini “dan mereka
mengutamakan (orang-orang lain),atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang merka berikan itu).” [3]
D.
Kandungan Hadits
Memuliakan tamu termasuk etika mulia dalam islam dan akhlak para
nabi serta orang-orang yang sholeh. Al-Laits telah mewajibkan seseorang untuk
memuliakan (menjamu) tamunya selama semalam, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “satu
malam menjamu tamu adalah hak yang wajib di tunaikan oleh setiap muslim.” Juga
berdasarkan hadist riwayat khudbah, “apabila kalian singgah pada suatu kaum
lalu kalian di jamu sebagaimana layaknya hak tamu. Maka terimalah jamuan itu.
Namu, jika mereka tidak melakukannya maka ambillah hak tamu yang awajib bagi
mereka.”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa memuliakan tamu termasuk akhlak
terpuji. Dalil yang mereka pergunakan adalah sabda Rasulullah “jamuan yang di
hidangkan kepada tamu adalah sehari semalam. “yang dimaksud yaitu
hidangan,pemberian dan perlakuan yang hangat dari tuan rumah. Tentu saja semua
itu dilakukan tanpa unsur paksaan,[4]
Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Uqbah bin Amir r.a, bahwa para
sahabat r.a berkata,”wahai Rasulullahkaum yang tidak menjamu kami, bagaimana
pendapatmu?” Rasulullah SAW menjawab,”jika kalian singgah pada suatu kaum, dan
mereka memberikan kepada kalian apa-apa yang seharusnya diberikan kepada tamu,
maka terimalah. Jika mereka tidak melaksanakannya maka ambillah hak-hak kalian
sebagai tamu yang seharusnya diberikan oleh mereka.
Adapun jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa menjamu tamu adalad
sunah termasuk akhlak mulia dan bukan wajib. Ini di dasari oleh sabda
Rasulullah SAW “falyukrim (maka hendaklah ia menghormati). Riwayat lain
menyebutkan “fal Yuhsin” (berlaku baiklah). Kedua ungkapan ini tidak menunjukan
wajib. Karena ikram (memuliakan) dan ihsan (berlaku baik)
termasuk al-bir (kebaikan) dan akhlak yang terpuji.
E.
Adab bertamu
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan
yang dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam
bertamu. Tatakrama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu
dapat tercapai. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu
pada tiga waktu aurat. Yang di maksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis
dhuhur, sesudah isya, dan sebelum subuh. (Q.S An-Nur:58)
Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena
waktu-waktu itu biasanya digunakan. Lazimnya orang yang beristirahat hanya
mengenakan pakaian yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian
dari auratnya terbuka. Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan
meminta ijin bila akan masuk ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang
bertamu. Bertamu pada waktu-waktu tersebut tidak mustahil justru akan
menyusahkan tuan rumah yang hendak istirahat, karena terpaksa harus berpakaian
rapi lagi untuk menerima kedatangan tamunya.
Contoh
bertamu :
1.
Berpakaian yang rapi dan pantas.
2.
Memberi isyarat dan salam ketika datang.
3.
Jangan mengintip kedalam rumah.
4.
Meminta ijin masuk maksimak sebanyak tiga kali.
Diriwayatkan oleh Abu Said al khudri, ia berkata “aku pernah berada
di salah satu tempat berkumpul kaum ansor. Tiba-tiba datanglah Abu Musa,
sepertinya ia sedang ketakutan. Maka ia berkata, “aku meminta ijin untuk
menemui Umar sebanyak tiga kali, namun tidak juga diberi ijin. Lalu aku pun
kembali”. Umar berkata, “apa yang menghalangimu?” aku berkata,”aku sudah
meminta ijin tiga kali, namun tidak juga di beri ijin. Maka aku pun kembali.
Adapun Rasulullah bersabda “apabila salah seorang diantara kalian meminta ijin
untuk masuk sebanyak tiga kali, namun tidak juga diberi ijin, maka pulanglah”.
Lalu Umar berkata, “ demi Allah, engkau harus bisa mendatangkan bukti
(kebenaran yang kau riwayatkan itu).
5.
Memperkenalkan diri sebelum masuk.
“Dari Jabir r.a ia berkata: aku pernah datang kepada Rasulullah SAW
lalu aku mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “ siapakah itu?” aku
menjawab: “saya”. Beliau bersabda: “saya, saya...!” seakan-akan beliau marah”.
(HR.Bukhori)
6.
Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya
seorang wanita.
7.
Masuk dan duduk dengan sopan.
8.
Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati. Apabila tuan rumah
telah mempersilahkan untuk menikmati jamuan, tamu sebaiknya segera
menikmatinya, tidak usah menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan
dirinya.
9.
Mulailah makan dengan membaca Basmallah dan di akhiri dengan
menbaca Hamdallah.
10.
Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan
memilih.
11.
Bersihkan piring jangan biarkan sisa makanan berceceran.
12.
Segeralah pulang setelah selesai urusan.[5]
F.
Adab menerima tamu
لا تكلفوا للضيف.
Artinya:
“janganlah kamu membebani tamu”
Perawi
Diriwayatkan
oleh Ibnu Asakir dalam kitab tarikh dari Salman Al-Farisy r.a.
Asbabul
Wurud
Sebagaimana tercantum dalam al Jami’ul Kabir dari Syaqiq Ibnu
Salamah r.a :”Aku berkunjung ke rumah Salman Al-Farisy. Maka dia keluarkan roti
dan garam sebagai hidangan untuk kami. Kemudian dia berkata kepadaku:”Kalau
bukanlah karena kami dilarang oleh Rasulullah SAW bahwa seseorang membebani
orang lain, tentulah aku membebani kamu (dengan mencari makanan sendiri)”.
Rayani dan Baihaqi dalam as Syu’ab meriwayatkan juga hadist
tersebut dengan riwayat lain dari Salman yang berbunyi :”Kami disuruh
Rasulullah SAW agar tidak membebani tamu dengan sesuatu yang tiada tersedia
pada kami dan kami menghidangkan sesuatu persediaan yang ada”. Diriwayatkan
oleh Bukhari dalam tarikhnya dan Baihaqi dalam as Syu’ab.
Keterangan
Hadist diatas melarang sikap pembebanan (takalluf) sebaliknya
berusaha merasa memadai dengan hal-hal yang sedikit dalam kehidup dunia ini.[6]
Cara
menerima tamu :
1.
Berpakaian yang pantas.
2.
Menerima tamu dengan sikap yang baik.
3.
Menjamu tamu sesuai kemampuan.
4.
Tidak perlu mengada-adakan.
5.
Lama waktu. Sesuai dengan hak tamu kewajiban memuliakan tamu adalah
tiga hari, termasuk hari istimewanya selebihnya dari waktu itu adalah sedekah
baginya.
6.
Antarkan sampai ke pintu halaman jika tamu hendak pulang.
G.
Penerapan Hadits di zaman sekarang
Menerapkan isi hadits ini,
sangat penting, karena akan menciptakan persatuan dan persaudaraan, serta
menyingkirkan semua perasaan dendam dan dengki. Manusia senantiasa hidup
berdampingan satu sama lainnya. Hampir semuanya pernah bertamu ataupun
kedatangan tamu. Jika setiap orang memuliakan tamunya, niscaya masyarakat akan
baik, karena telah tercipta persaudaraan dan rasa saling menyayangi. Apalagi
jika semua anggota masyarakat komotmen terhadap berbagai adab yang ada dalam
hadist di atas[7].
III.
KESIMPULAN
Memuliakan tamu termasuk etika mulia dalam islam dan akhlak para
nabi serta orang-orang yang sholeh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
memuliakan tamu termasuk akhlak terpuji adapun jumhur ulama, mereka berpendapat
bahwa menjamu tamu adalah sunah termasuk akhlak mulia dan bukan wajib.
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan
yang dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam
bertamu. Tatakrama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu
dapat tercapai. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan
bertamu pada tiga waktu aurat. Yang di maksud dengan tiga waktu aurat ialah
sehabis dhuhur, sesudah isya, dan sebelum subuh.
Manusia senantiasa hidup berdampingan satu sama lainnya. Hampir semuanya
pernah bertamu ataupun kedatangan tamu. Jika setiap orang memuliakan tamunya,
niscaya masyarakat akan baik, karena telah tercipta persaudaraan dan rasa
saling menyayangi. Apalagi jika semua anggota masyarakat komotmen terhadap
berbagai adab yang ada dalam hadist di atas.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat. Dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abi, Muhyidin
Zakaria Asysyafii, Menuju Pribadi Yang Soleh.(Media Idaman:Surabaya,
1991)
An-Nawawi,
Imam. Shahih Muslim bi Syarh An-nawawi,(Jakarta:PUSTAKAAZAM,2010)
Dieb, Musthafa
Al-Bugha Muhyidin Mistu.Al Wafi (Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah).(Jakarta:Al-I’tishom,2003).
Hamzah,
Ibnu Al Husaini al Hanafi AD Damasyiqi,terj,asbabul wurud 3 Latar Belakang Histori Timbulnya
Hadist-hadist Rasul,cet.1,(Jakarta:Kalam Mulia,2005).
Muhamad,
Syaikh Nashiruddin Al-Albani.Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka
Sahifa, 2008).
Drianti.blogspot.com/2012/06/adab-bertamu-atau-menerima-tamu-dalam.html?m=I.Dikutip
pada hari selasa,26 mei 2015 pukul 11.08
[1] Muhyidin Abi Zakaria Asysyafii, Menuju Pribadi Yang Soleh.(Media
Idaman:Surabaya, 1991). hlm.153
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka
Sahifa, 2008).hlm.77
[3] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka
Sahifa, 2008).hlm.76
[4] Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh
An-nawawi,(Jakarta:PUSTAKAAZAM,2010), hlm.122-123
[5]
Drianti.blogspot.com/2012/06/adab-bertamu-atau-menerima-tamu-dalam.html?m=I.Dikutip
pada hari selasa,26 mei 2015 pukul 11.08
[6] Ibnu hamzah Al Husaini al Hanafi AD Damasyiqi,terj,asbabul wurud 3
Latar Belakang Histori Timbulnya Hadist-hadist Rasul,cet.1,(Jakarta:Kalam
Mulia,2005).hlm.436
[7] DR.Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyidin Mistu.Al Wafi (Syarah Kitab
Arba’in An-Nawawiyah).(Jakarta:Al-I’tishom,2003).hlm.107
semoga bermanfaat :)
BalasHapus